ღبِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيღ
Saya mulai dengan salam dari Syurga, Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Semoga Kesejahtraan, Shalawat serta salam selalu tercurah kepada kekasih Alam ✿ܓMuhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alahi wassalam beserta keluarga, sahabat, dan pengikut yang setia dengan Assunahnya hinga akhir Jaman.
Sahabat fillah, dalam ruang waktu kita yang sempit ini izinkan kembali saya menaburkan sebuah pemikiran yang semoga dengan izin Nya akan memperkaya pengetahuan kita tentang benda berharga yang kita miliki dalam diri kita. Agar darinya terpancar sebuah energi yang memperluas cara pandang kita tentang kehidupan ini.
FITRAH MANUSIA
Sering kita mendengarnya, namun benarkah kita telah memahaminya?
Mari kita dekati dan kenali. Semoga dalam beberapa menit kedepan, sahabat pena dapat menemukan sebuah pemahaman berharga didalamnya.
“Fitrah merupakan ketetapan Allah yang tertanam dihati manusia sejak awal penciptaannya, kecendrungan alami yang keberadaannya menyerupai sebuah kontrol lembut yang mengendalikan berbagai warna perasaan manusia yang menjadi sumber utama dorongan untuk berfikir dan bertindak agar ummat manusia ini lestari dari masa kemasa”.
Dalam bahasa ingris, fitrah disebut a natural tendency atau sebuah kecendrungan alami.
Kecendrungan ini muncul dengan sendirinya tanpa pengaruh dari luar, tetap konstan dalam hati manusia dan tidak pernah berubah.
Allah Subhana Huwwa ta’ala berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (Qs Ar Rum 30)
Taqiyuddin an-Nabhani, dalam tulisannya yang berjudul “Hakikat Berfikir” menyebutkan fitrah itu dengan kata naluri. Beliau mendefinisikan fitrah sebagai daya kehidupan yang mendasar yang merupakan bagian integral dari hakikat manusia yang tidak mungkin diubah (dimodifikasi), dihapus, dan dibendung.
Beliau mengklasifikasikan Fitrah/Naluri/Gharâ’iz yang ada dalam hati manusia itu hanya terdiri dari tiga jenis saja, yaitu: (1) naluri mempertahankan diri (gharîzah al-baqâ’), (2) naluri melestarikan jenis (gharîzah an-nau‘) dan (3) naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) atau pensakralan (at-taqdis).
Dari fitrah fitrah itu kemudian muncul berbagai penampakan (penjelmaan).
Realitas Naluri atau Fitrah itu berbeda dengan penampakan dari naluri itu sendiri. Penampakan dari naluri bukan bagian integral dari hakikat manusia sehingga bisa diubah, dihapus, dan dibendung.
NALURI MEMPERTAHANKAN DIRI
(Gharîzah al-baqâ’, Survival Instinct)
Manusia senantiasa berusaha untuk mempertahankan eksistensi dirinya.
Oleh karena itu, manusia mempunyai keinginan untuk memiliki sesuatu, memiliki rasa takut, terdorong untuk melakukan sesuatu, mempunyai hasrat untuk berkelompok, dan sejumlah perbuatan lainnya dalam rangka mempertahankan eksistensi dirinya.
Dengan demikian, rasa takut, kecenderungan untuk memiliki sesuatu, keberanian, dan yang sejenisnya bukanlah naluri itu sendiri, melainkan hanya penampakan-penampakan dari satu naluri, yaitu naluri untuk mempertahankan diri (gharizah al-baqa`).
Kita bisa melihat contoh sederhana tentang berubah ubahnya sebuah penjelmaan Naluri. Misalnya dari Naluri mempertahankan jenis ini muncul sikap kita yang mementingkan diri sendiri, kemudian berubah menjadi mementingkan orang lain. Adalah mungkin, jika seseorang mengubah sikap mementingkan diri sendiri menjadi sikap mementingkan orang lain.
NALURI MELESTARIKAN JENIS
(Gharîzah an-nau‘, Species Instinct)
Pada diri manusia juga terdapat perasaan untuk mempertahankan jenis manusia, karena punahnya manusia akan mengancam kelestariannya. Artinya, setiap ada sesuatu yang mengancam kelestarian jenisnya, akan timbullah perasaan dalam dirinya secara alami sesuai dengan ancaman tersebut. (Misalnya ada perasaan ingin menolong saat melihat orang tenggelam dan terancam nyawanya)
Analisa yang lebih luas lagi,
Kita bisa lihat dari bangkitnya syahwat saat melihat wanita cantik pada diri seorang laki-laki. Melihat ibu, melihat anak-anak akan membangkitkan perasaan sayang terhadapnya, kecenderungan untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, kecenderungan untuk menolong orang yang sangat membutuhkan, dan yang lainnya.
Kesemua perasaan itu muncul dari sumber utama, yaitu FITRAH atau kecendrungan alami Manusia untuk melestarikan jenisnya atau secara halus keinginan yang ditanamkan Allah untuk memiliki keturunan. Kesemua itu bukanlah naluri atau FITRAH itu sendiri, melainkan hanya penampakan penampakan dari satu naluri, yaitu naluri untuk melestarikan jenis.
Penampakan itu mungkin saja kita ubah, kita hapus atau kita bendung…karena itu hanya penjelmaan saja.
Sering terjadi, rasa sayang seorang suami terhadap ibu mengalihkannya dari kecenderungan terhadap istrinya, bahkan dari pernikahan dan hasrat seksualnya. Sebaliknya, sering pula terjadi, hasrat seksual kepada isteri memalingkan seorang laki-laki dari rasa sayang kepada ibunya.
Jadi, penampakan dari satu naluri melestarikan keturunan akan menimbulkan berbagai penjelmaan fitrah yang keberadaannya bisa berubah, dibendung dan bahkan dihapus. Ini dikarenakan naluri merupakan bagian integral dari hakikat manusia, sedangkan penampakan dari naluri itu bukan bagian integral dari hakikat manusia.
NALURI BERAGAMA
(Gharîzah at-tadayyun)
Demikian pula kecenderungan atau naluri atau FITRAH manusia untuk beribadah kepada Allah yang muncul dari naluri beragama (gharîzah attadayyun) yang ditanamkan Allah pada penciptaan Manusia. Naluri ini tidak bisa diubah, namun penjelmaannya berubah ubah oleh sesuatu.
Hingga benar bahwa dalam setiap hati manusia itu ada Iman yang ditanamkan, namun kepedulian manusia untuk menumbuhkannya bermacam macam. Seorang kafir telah menolak sekuat tenaga keimanan dalam hatinya dengan fikirannya, hingga hidupnya GELISAH. Seorang beriman yang bersungguh sungguh dengan keimanananya telah memupuk tunas keimanan itu hingga ia tumbuh.
Pada diri manusia terdapat perasaan alamiah ingin mempertahankan eksistensi dirinya agar keberadaannya senantiasa kekal. Ketika manusia menghadapi segala sesuatu yang mengancam kelestariannya, pada dirinya akan segera muncul perasaan yang sesuai dengan jenis ancaman tersebut, seperti : perasaan takut, ingin melaksanakan sesuatu aktivitas, sikap kikir, atau ingin memberikan sesuatu, perasaan ingin menyendiri atau ingin berkelompok, dan sebagainya sesuai dengan pandangannya.
Oleh karena itu, pada dirinya akan terwujud perasaan yang akan mendorongnya untuk melakukan suatu perilaku, sehingga akan terlihat padanya penampakan-penampakan berupa perilaku yang muncul dari perasaan ingin mempertahankan diri.
Kelemahan seorang manusia dalam memuaskan perasaan ingin mempertahankan diri dan jenisnya akan membangkitkan perasaan-perasaan yang lain, yaitu berserah diri dan tunduk kepada sesuatu yang menurut perasaannya berhak ditaati dan diikuti perintahnya.
Oleh karena itu, ada manusia yang berserah diri hanya kepada Allah, ada yang memuja pemimpin bangsanya, dan ada pula yang mengagungkan orang orang kuat. Semua itu muncul dari perasaan akan kelemahan yang alami pada dirinya.
Dengan demikian, asal-usul berbagai naluri adalah perasaan untuk mempertahankan diri, mempertahankan jenisnya, serta perasaan akan kelemahan yang alami.
Dari perasaan-perasaan semacam ini, lahirlah berbagai perilaku yang merupakan penampakan dari ketiga naluri yang alami itu. Seluruh penampakan darinya dapat dikembalikan pada ketiga naluri tersebut (yaitu perasaan yang muncul secara alami untuk mempertahankan diri, melestarikan keturunan dan kecendrungan untuk beribadah kepada Tuhan Nya).
Perasaan perasaaan lain yang muncul kemudian adalah berupa pengaruh dari ketiga fitrah itu yang dipengaruhi lingkungan dan keyakinan dalam aktifitas berfikir seseorang.
Mari kita sinergikan pemahaman tadi dengan apa apa yang kita rasakan, agar kita menemukan sebuah pemahaman berharga sebagai bahan renungan ketika kita terjebak kedalam sebuah situasi yang membuat kita terdiam dan bingung.
Saya tekankan disini, bahwasannya berbagai perasaan yang sering kita temui semisal CINTA adalah berupa penjelmaan dari fitrah dan bukan fitrah itu sendiri.
Cinta adalah penjelmaan dari fitrah manusia yang ditanamkan Allah aza wajala kepada manusia agar memiliki kecendrungan untuk memiliki keturunan yang beribadah kepada NYA.
Cinta bukan Fitrah, ia hanya penampakan dari Fitrah yang sebenarnya bisa kita kendalikan, bisa kita bendung atau mungkin bisa kita hapus. Sementara fitrah manusia untuk melestarikan diri, sebagai bagian integral dari hakikat manusia tidak akan bisa kita hilangkan…
Lihat saja ketika Cinta itu hilang?
Bahkan berubah jadi Benci?
Kemanakah Cinta itu?
Lalu perhatikan lagi, saat tiba tiba cinta itu datang lagi menyerupai bentuk yang lain.
Kita mencintai yang lain, padahal sebelumnya kita berkeyakinan Cinta itu hanya satu dan selamanya?
Bahkan lidah kita terbungkam untuk memahaminya.
Kadang kita sendiri tidak mengerti, setelah hati itu luluh hancur berkeping… ia seperti rekat kembali…utuh kembali dan kini mencintai yang lain..
MASHA ALLAH…
Ini adalah sebuah peristiwa luar biasa yang mengisyaratkan keberadaan fitrah yang ditanamkan Allah aza wajala kepada setiap mahluknya yang paling mulia, yaitu Manusia.
Jadi benarlah dalam setiap hati manusia itu terdapat Nur Illahi yang senantiasa membimbing kita dengan tiga kecendrungan tersebut agar manusia ini lestari dari masa kemasa, dari Adam Alahissalam sampai manusia manusia akhir jaman ini dengan sebuah kontrol mengagumkan yang tertanam dalam hati hati manusia yang kita kenal sebagai FITRAH.
FITRAH itu tertanam kuat dan terus mewarisi setiap pribadi.
Namun, yang menarik adalah kecendrungan dan prilaku manusia yang kemudian fitrah itu menjelma dalam bentuk bentuk yang mengherankan seperti yang kita lihat dewasa ini.
Mari lihat sekitar…
Ada diantara teman kita yang menyukai sesama jenisnya.
Apakah jenis species ini adalah muncul dari dorongan fitrah? Apakah menjadi gays itu fitrah? Apakah lesbian itu juga fitrah?
Taqiyuddin an-Nabhani mengungkapnya dengan bahasan yang mencengangkan.
Dalam tulisannya beliau menjelaskan bahwa kecendrungan seksual (gharîzah al-jinsi) adalah bukan Naluri, sebab hubungan seks kadang-kadang bisa terjadi antara manusia dan hewan padahal kecenderungan yang alami adalah dari manusia kepada manusia lain atau dari hewan terhadap hewan lain.
Kecenderungan seksual manusia terhadap hewan, misalnya, adalah suatu penyimpangan (abnormal), bukan sesuatu yang alami. Kecenderungan semacam ini tidak mungkin terjadi secara alami, melainkan terjadi karena penyimpangan.
Naluri merupakan kecenderungan yang bersifat alami.
Begitu juga kecenderungan laki-laki kepada sesama laki-laki, adalah suatu penyimpangan, bukan sesuatu yang alami. Kecenderungan semacam ini juga tidak mungkin terjadi secara alami, melainkan terjadi karena penyimpangan.
Dengan demikian, kecenderungan seksual kepada wanita, kecenderungan untuk menyayangi ibu, dan kecenderungan untuk menyayangi anak perempuan, semuanya termasuk penampakan dari naluri untuk melestarikan jenis. Sebaliknya, kecenderungan seksual dari manusia terhadap hewan atau dari laki-laki kepada sesama laki-laki bukan merupakan kecenderungan yang alami, melainkan merupakan penyimpangan dari naluri.
Karena naluri yang sebenarnya adalah naluri untuk melestarikan jenis (gharîzah an-nau‘), bukan naluri seksual (gharîzah al-jinsi). Tujuannya adalah demi kelestarian jenis manusia, bukan demi kelestarian jenis hewan.
Ini bisa kita pahami, bahwa hubungan seksual manusia dengan hewan, hubungan laki laki dengan laki laki, hubungan wanita dengan wanita itu tidak akan menghasilkan sebuah keturunan. Tidak mungkin ini adalah FITRAH yang ditanamkan Allah yang Maha Mulia. Ini adalah bentuk penyimpangan atau ABNORMAL.
Jadi kaum gays itu adalah kaum abnormal yang harus diluruskan, atau dibasmi. Setidaknya tidak didukung dengan hukum internasional seperti kongres kongres terlaknat yang mengesahkan pernikahan mereka. ! Atau jika tidak maka Azab Allah seperti yang ditimpakan lepada kaum Nabi Luth dulu akan datang cepat atau lambat, di dunia atau di Neraka Nya yang pedih.
Wallahu’alam Bishawab..
Pembahasan saya sebenarnya bukan terhadap banci banci itu. Saya ingin mengarahkan catatan ini kepada satu kata saja, yaitu CINTA. Hingga kita bisa memahami dan mengarahkan cinta tersebut.
Beberapa waktu lalu, ada sebuah pertanyaan mengagumkan dari saudari Anty Kudus, beliau bertanya:
“Apakah boleh laki laki yang sudah beristri mencintai gadis lain, sedangkan Islam membolehkan Polygami? Bukankan sebelum polygami itu terjadi ada Cinta – dan cinta itu sendiri muncul atas fase fase… ?”
Semoga Artikel ini menjawab hingga tuntas dilihat dari sudut pandang tentang dari mana “Cinta itu Muncul” dan penyimpangnan penyimpangannya.
Sahabat fillah,
Yang hatinya mungkin sedang galau.. terusik cinta.
Cinta itu bukan sebuah fitrah yang harus disalahkan, fitrah itu sungguh Agung.
Cinta adalah sebuah penjelmaan yang muncul dari Fitrah manusia untuk senantiasa memiliki keturunan. Dari fitrah inilah muncul rasa cinta kepada lawan jenis, agar kita menikah dan menghasilkan keturunan yang nanti akan beribadah kepada Allah aza wajala.
“Warisan bagi Allah ‘Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya”. (HR. Ath-Thahawi).
Jadi tidak selayaknya jika cinta itu kemudian menanamkan kepedihan dihati pecinta, lalu kita serta merta menyalahkan cinta… mengeluh atas fitrahnya hati yang mencintai. Tidak, cinta itu bukan fitrah yang tidak bisa kita ubah atau arahkan.. Cinta hanya penjelmaan saja yang keberadaannya bisa kita ubah atau arahkan…
Jika cinta yang seperti menyakiti kita, maka kita bisa memastikan bahwa kesalahan terletak dalam cara kita. Segala bentuk cinta yang tidak diarahkan kepada haknya, maka ia akan membelit dan menyakiti kita sendiri.
Jika cinta itu terarah, maka keberadaannya akan menyempurnakan sempurnanya kebahagiaan. Salah satu alasan lahirnya sebuah kebahagiaan dihati kita adalah karena pohon iman yang menaungi hati kita, pohon itu tidak akan tumbuh sempurna ketika kita tidak menjaga hati yang menjadi rumahnya.
Rasulullah saw bersabda; “Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya”. (HR Abu Daud)
Sempurna, begitulah Islam yang senantiasa menuntun kita kepada sebuah kebahagiaan yang sempurna. Tidak mungkin Allah menginginkan hambanya menderita tanpa sebuah sebab sebab.
Tapi dari kesemua itu, adalah Allah Tuhan yang Maha Berkehendak.
Segala hal yang terjadi kepada diri kita, berbagai bencana, musibah, tawa tawa bahkan tangisan itu tidak lepas atas Izin Nya
” Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” QS53:43,
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya..” QS 64:11)
Hanya hati yang senantiasa mengingatNya lah yang akan mampu menerjemahkan sebuah sinergi luar biasa dalam berbagai rangkaian peristiwa yang menemuinya, sehingga ia sukses dalam mensyukuri setiap kejadian, baik itu suka atau duka.
“Hukum Hukum yang Allah Subhana Huwwa ta’ala gariskan tidak selayaknya di sambungkan dengan logika, tapi aktifitas pemikiran kitalah yang seharusnya diselaraskan dengan informasi informasi dari Al Qur’an yang telah diterangkan dengan terang benderang oleh Al Hadits”.
Demikian,
Wassalamualaikum warohmatullahi wbarokatuh.
Created on Sunday, May 15, 2011 at 4:40pm
REVISED on Friday, July 15, 2011 at 01:16am
✿ܓSalam penuh kebahagiaan,
NURUDDIN AL INDUNISSY
RIYADH 2011