Seorang anak bertanya kepada ayahnya; “Ayah, kenapa haram?”
Ayahnya berkata; “Anaku. Haram ya Haram. Jangan banyak bertanya, tidak baik”, dan anak itu diam.
Kemudian anak itu tidak berani bertanya lagi,
Ia kemudian tumbuh dewasa dengan berbagai peraturan yang mengikatnya. Dikekang dengan sebuah nuansa yang secara logika anak bertentangan dengan haq haqnya sebagai anak. Bahkan dia tumbuh dengan ketakutan atas Neraka yang sama sekali tidak ia mengerti.
Apa ayah salah menginginkan anaknya tumbuh dengan nilai nilai Islam?
Anak adalah warisan seorang beriman untuk Rabb nya,
Anak yang shalih akan beribadah kepada Allah setelah sang Ayah telah meninggalkannya, dia akan mendo’akan Ayahnya dan itu terus akan berlanjut selama keturunan itu baik hingga hari Kiamat.
Rasulullah saw bersabda;
“Warisan bagi Allah ‘Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya”. (HR. Ath-Thahawi).
Masa masa sebelum anak dewasa adalah saat terbaik untuk menanamkan nilai nila islam, karena pemahaman itu akan terekam dengan baik hingga menjadi kebiasaan kebiasaan dan nantinya membuahkan sebuah pribadi saat ia dewasa, pribadi baik itu tidak akan mudah goyah diterpa beratnya kehidupan.
Lalu apa yang salah?
Kebenaran yang kita sampaikan tidak selamanya bersambut, bahkan kadang dinilai salah secara sepihak dan argumentasi kita berikutnya dianggap sebagai pembenaran. Penyebabnya hanya tiga alasan, penyampaian yang salah, waktu dan kondisi yang tidak tepat serta minimnya Ilmu.
Sehingga ketika anak itu menjelang remaja, dan ibu tercintanya berkata; “Anaku, ga boleh pacaran. Dalam islam tidak ada istilah pacaran, itu Haram..”
Disana anak akan semakin tidak mengerti dan iblis mulai menebarkan kebencian dan pembangkangan didalam dada anak tersebut, hingga seiring kedewasaan dia tumbuh dan memasuki lingkungan kampus dan dunia metropolish ia akan mengabaikan semua nasihat Ayah dan Ibunya.
Tidak disangkal lagi, dalam tahap ini Ayah dan Ibu telah gagal mencetak anaknya.
Bayangkanlah jika anak itu tumbuh dibelantara kota, dan Ayah dan Ibu itu kemudian meninggalkan dunia ini. Meninggalkan warisannya untuk Allah seorang anak yang terlepas dari Agama. ?
Dari kesadaran itulah, catatan ini tergores.
Mungkin ini akan melelahkan mata untuk dibaca, tapi semoga ketika selesai membacanya akan ada sebuah inspirasi atau pegangan tentang bagaimana seharusnya menanamkan “Pemahaman” kepada anak anak atau adik kita, bukan menyampaikan sebuah “Perintah” secara vertikal tapi juga keteladanan secara Horizontal.
Iyah, sahabatku.
Kita sudah begitu tahu. Islam ini bukan sekedar Halal dan Haram atau pemaksaan pemaksaan yang mengikat kebebasan dalam kewajiban kewajiban dan kekangan kekangan dalam berbagai larangan.
Kewajiban yang dibebankan itu sendiri bukanlah beban, melainkan sebuah pengkondisian agar jiwa manusia itu kembali kepada fitrahnya dan menetapi kebahagiaan didalam indahnya Islam ini.
Ujian demi ujian adalah akan terus berhembus untuk melenturkan kerasnya hati, musibah demi musibah terus diterpakan untuk membasuh hati kita, menyentuhnya agar kita kembali mengingat Nya. Menegur kita, mengingatkan kembali bahwa tak selamanya dunia ini akan kita diami.
Tidak selamanya rencana yang anggap kita baik itu baik menurut Tuhan kita, Tuhan kita yang maha mengetahui atas segala kebutuhan kita. Tuhan yang telah merencanakan dengan perencanaannya yang sempurna.
Islam ini laksana sebuah jalanan, sebuah tatanan untuk mengatur segala aspek mendetails dari ruh manusia hingga jasad yang kasat mata. Dari dunia ghaib hingga dunia nyata. Dari bumi hingga alam semesta. Dari negri Dunia hingga Negri berikutnya di Akhirat yang kekal.
Semua skenarionya telah terekam dalam Al Qur’an Al Kareem, narasinya sudah terang benderang dengan berbagai redaksi Al Hadits dari Rasulullah saw.
Islam is a Way, the perfect way to paradise.
Islam adalah jalan, jalan sempurna menuju Syurga.
Sempurna.
Seorang yang telah memahami keindahan di tujuannya, dia tidak akan patah dengan kegagalan.
Seprti anak yang sedang memainkan sebuah games, dia tidak akan sakit hati dengan kegagalannya. Dia akan terus mencoba sebelum games is over. Bahkan, ketika Games is Over dan dia mendapatkan bonus live untuk main lagi, dia berteriak bahagia dan memulai lagi serta fokus kepada titik dimana ia gagal.
Bukankah setiap pagi kita mendapat bonus live dari Allah atas kehidupan dihari tersebut?
Tentu saja hari demi hari ini tidak gratis, dan kesemuanya akan dipertanggungjawabkan karena dunia ini hanyalah bagian dari perjalanan ruh dari Alam ruh itu sendiri, alam rahim, alam dunia dan alam selanjutnya (Alam kubur, kiamat, hisab dan syurga atau neraka)
Syurga yang abadi, dan Neraka yang Abadi pula.
Hari demi hari yang sesaat ini adalah sebuah kesempatan emas yang harus kita optimalkan untuk beramal sebagai bekal di hari yang abadi tersebut.
Amal yang kita perbuat tentu saja harus disertai kerelaan, dan kerelaan ini tidak akan timbul jika tidak ada kesadaran, sementara kesadaran akan terlahir dari pemahaman.
Jadi penanaman pemahaman terhadap anak atau adik adik atau mutarobi atau murid atau apapun namanya adalah pemahaman. Bagaimana mereka memahami peranan Iman yang akan mendorong mereka untuk mengaitkan semua aktifitas dalam hidupnya dengan Tuhannya.
Penanaman pemahaman tersebut harus dimulai sebelum mereka mengenal lingkungannya, sebelum mereka mendefinisikan sendiri apa apa yang mereka kenali yang kemudian akan disimpulkan sebagai kebenaran oleh fikirannya.
Salah satu urgensi yang harus didahulukan adalah hal hal yang berkaitan dengan fitrah.
Fitrah merupakan ketetapan Allah yang ditentukan kepada setiap umat manusia sejak awal penciptaannya yang berupa sifat atau ‘kecendrungan alami’ terhadap sesuatu yang akan muncul dengan sendirinya secara batinniyah tanpa pengaruh dari luar.
Fitrah fitrah ini akan muncul dalam diri anak secara alami, tanpa guru tanpa pengalaman. Dalam perkembangannya fitrah ini tidak akan selamanya berjalan dengan ketentuan ketentuan, lingkungan kemudian akan membuat fitrah fitrah itu menyimpang.
Perkenankan saya untuk memberikan satu contoh saja; Cinta.
Cinta adalah penampakan dari Fitrah manusia yang diberi kecendrungan untuk melestarikan jenisnya (gharîzah an-nau‘), atas fitrah inilah manusia kemudian merasakan keinginan untuk mencari pasangan dan menikah.
Atas kemurahan Allah, kemudian fitrah ini diperindah dengan kata yang kita kenal sebagai “Cinta”. Dari kata inilah syair syair kemudian memenuhi dunia hingga hampir saja pemahaman “Mahabbatullah” atau Mencintai Rabbnya itu hilang.
Mahabbatullah adalah bukan teori teori sufi saja, ini adalah tingkatan cinta tertinggi yang tidak semua mukminin mukminat menikmatinya. Karena Cinta jenis inilah, seorang mujahid rela menukar jiwanya di medan perang. Cinta inilah yang telah meredam dan menukar rasa sakit mereka.
Ketika kita ingin menyampaikan sebuah hukum kepada Anak, jangan didahului dengan kata yang membuat mereka malas untuk mendengarnya.
Misalnya saja saat kita ingin mengenalkan kata cinta dalam pandangan Islam, kita harus memulainya dengan sebuah retorika yang bisa diterima dan dicerna si anak.
Jadi si ibu tidak mengatakan ; “Nak, ga boleh pacaran. Itu haram..”
Tapi si ibu bercerita ditelinga sang anak dengan lembut, bahwa cinta yang anak remajanya rasakan itu adalah sebuah perasaan yang wajar.
Bisikan ditelingannya bahwa salah satu refleksi dari perasaan cinta itu adalah keinginan untuk menjaga; memperhatikan dan memelihara sesuatu yang ia cintai. Membersihkan setiap debu debu cemburu yang berusaha mencemarinya. Menjaga dari setiap hal yang menyakitinya, hingga ia akan mengarahkan segala aktifitasnya kepada apa yang ia cintai, atas nama Cinta tersebut.
Hingga dalam hati seorang pecinta tertanam rasa tak ingin kehilangan kekasihnya, yang mendorong ia untuk melakukan semua yang kekasihnya perintahkan.
Adalah pemahaman cinta kepada Rabbnya telah dikatakan baik dalam takaran logika, jika seorang insan melaksanakan apa yang inginkan Rabbnya dengan sepenuh kerelaan atas nama cinta tersebut.
Adalah hamba yang mencintai Rabbnya yang akan menjaga dirinya dari apa yangg diharamkan, karena HARAM adalah sesuatu yang menjadikan Rabbnya cemburu. Hingga ketika ia terjerumus dosa, ia akan segera kembali – karena – takut kehilangan Dzat yang ia Cintai.
Begitu indahnya sebuah kehidupan didalam lembah MAHABATULLAH,
kare Rasulullah saw bersabda; Ketika Allah mencintai Hamba Nya, maka ia akan menyuruh Jibril dan para malaikat dan seluruh penghuni langit untuk mencintai Hamba itu.
Ketika dicintai Dzat yang memegang segala cinta, tentu hidupnya akan berada dalam naungan Cinta Nya.
Rasulullah saw bersabda; “Manakala Allah mencintai seseorang, Dia akan memanggil Jibril seraya berkata, ‘Aku mencintai si Fulan. Wahai Jibril cintai pula dia’. Jibril pun mencintai orang itu dan mengumumkannya kepada semua penduduk langit. Allah mencintai si Fulan, maka cintai pula dia oleh kalian semua,’ maka semua penduduk langit mencintai orang itu, dan kemudian dia memperoleh kesenangan-kesenangan dari penduduk bumi’ (Sahih Bukhari dari Abu Hurairah ra)
Carilah kebahagiaan itu didalam naungan Cinta Nya.
Jika kita mencari kebahagiaan diluar diri kita tentu kita akan mendapati bahwa bahagia itu selalu milik orang lain.
Jadi, berbahagialah dengan Islam-mu, dan carilah didalamnya. Karena jika kita mencari kebahagiaan diluar Islam tentu kita akan mendapati kebahagian itu selalu milik orang orang kafir.
Dengan demikian anak akan tertarik dan mulai mencintai figur Ibu atau Ayah.
Ketika cinta itu telah tumbuh, maka langkah selanjutnya adalah kesiapan kita untuk mengubah semua hukum hukum Islam itu dalam sebuah kemasan yang menarik bagi buah hati yang kita cintai.
Hingga mudah mudahan,
Anak anak kita kelak akan menjadi warisan dari kita untuk Allah yang terus beribadah dan mendo’akan kita setelah kita menemui kematian.
Nuruddin Al Indunissy
RIYADH 2011